Oleh: Ramadhania Humaira
NIM: 09021282126064
Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Sriwijaya
Pendahuluan
Setelah menunggu enam tahun untuk penetapan, RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) akhirnya disahkan menjadi UU oleh Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat paripurna pada hari Selasa (12/04/2022). Momentum ini menjadi kabar baik bagi kita sebagai warga negara yang memiliki hak untuk dilindungi negara, dalam hal ini jaminan hak perlindungan dari kekerasan seksual. UU TPKS menjadi payung hukum yang dipandang adil dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual.
Pembahasan
Pada awalnya, KUHP menjadi dasar untuk pengatur penindakan kasus kekerasan seksual. Namun di dalam KUHP hanya memuat dua jenis kasus kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual dan pemerkosaan. Sehingga dirasa tidak cukup sebagai regulasi nasional dalam menghadapi kasus pelecehan seksual. Sedangkan dalam UU TPKS tertera sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang diatur, yakni: pelecehan seksual non-fisik; pelecahan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; penyiksaan seksual; dan kekerasan seksual. Terlihat jelas bahwa regulasi UU TPKS memiliki klasifikasi jenis kekerasan seksual yang cukup detail dengan definisi yang luas serta ditinjau akan memberi jaminan keadilan yang lebih kepada pihak korban.
Seluruh bentuk pelecehan seksual tersebut diatur dalam hukum, alhasil pihak penyidik kepolisian tidak dapat mengelak jika menerima pengaduan kasus pelecehan dalam bentuk apapun. Tentunya hal ini dapat memberi kepercayaan kepada korban bahwa kasus yang ia hadapi akan dipastikan dapat diproses secara hukum. Kita juga pasti pernah melihat salah satu berita dari media, terdapat pelaku yang masih berani mengawini korban pemerkosaan secara paksa dengan alasan untuk menebus dosa zina atau untuk menyelesaikan kasus pelecehan tersebut. Namun dengan adanya UU TPKS, pemaksaan perkawinan tersebut dapat dikenai sanksi pidana dan diharapkan akan memberi kenyamanan kepada korban untuk memulihkan dirinya. UU TPKS tak hanya memberi perlindungan korban dari sisi psikologis saja, dari secara materiil juga dipertimbangkan akan membantu korban dengan adanya hukuman restitusi yang ditetapkan bagi pelaku kekerasan seksual. Selain denda dan penjara, pelaku juga wajib memberi ganti rugi kepada korban.
Meskipun kasus pelecehan seksual terjadi lebih sering di kaum perempuan, penerapan UU TPKS ini juga dapat berlaku untuk kaum laki-laki yang akan tetap diberi regulasi hukum yang sama.
Penutup
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwasanya urgensi penetapan RUU TPKS menjadi UU TPKS sudah benar layak diperjuangkan untuk meningkatkan kualitas penyelesaian kasus kekerasan pelecehan seksual di Indonesia. Poin penting dalam UU TPKS diharapkan akan segera diimplementasikan dalam perkara pelecehan seksual yang terjadi. Dengan adanya regulasi hukum yang lebih teratur dan detail, keadilan akan berpihak penuh bagi korban dan pelaku yang terjerat akan diadili dengan hukuman yang setimpal.
Komentar
Posting Komentar